hujan tak turun , terik pun seperti di ubun ubun.
seperti berbedak debu saat truk logg menderu.
tanah meretak, kali sudah takberiak.
keringat membasahi baju, kerongkongan berasa kelu.
semua daun kering gugur., semua warna hanya coklat menghampar
daun jati gugur, kemarau telah tiga bulan ini.
tersisa hanya barisan jati aking.
mbelik yang biasanya ia singgahi tuk istirahat siang pun,
menyisakan air yang hampir asat.
satu pohon masih nampak hijau lebat
beringin tua dekat mbelik.
surga baginya, setelah dari pagi hingga sesiang ini
hanya ia lewati memutar seisi alas getas.
surga baginya, membakar pohung kesukaanya.
surga baginya, bisa meneguk air mbelik sejernih air mineral sekelas aqua.
bara api perapian ranting jati tak jauh dari mbelik,
segera ia siram.
mematikanya.
ketela pohon (pohung) bakar jadi menu santap tiap siang
minumnyapun air mbelik, dingin segar dan jernih.
pohung ini, hmmhmmm,,,,
rasanya tidak terlalu gurih, seret di tenggorokan, dan begitu padat.
separo makan harus di dorong dengan air mbelik yang ia ambil dalam bumbung.
takselezat nasi rendang ala padang, tak sesegar tequila hidangan solaria.
namun tak ada tandingnya santap siang di bawah beringin tua dekat mbelik alas getas.
santap siang bercampur gurauan khas alas getas.
bergumul riang sekawanan blandong.
siang ini adalah giliran kami melongok bagian yang akan kami tebang.
memutar seisi alas, menentukan jati pilihan.
mengitari sudetan sudetan dalam alas, memilih dan memilah jalur tercepat.
dan mengujungkan jalur melalui bengawan solo,
berakhir di alas tetangga desa.
begitulah kiranya, siasat tebang nanti malam.
adalah malamnya sang kapak beradu padu dengan bonggol jati.
adalah malamnya otot punggung yang kan memikul hingga kelokan bengawan solo.
adalah malamnya desingan revolver sinder, atau mantri alas, saat kami sial.
sekawanan blandong telah paham benar malam yang kan ia lewatkan hingga sebelum subuh nanti.
sekawanan blandong mengerti benar ilmunya diuji malam nanti.
matahari sudah agak condong, teriknya sudah tak menyengat seperti tadi.
sekawanan blandong beranjak pulang, menyusuri alas jati.
berkumpul anak istri, bercengkrama dengan kerabat.
menguatkan asa tuk malam tebangnya nanti.
beberapa ekor ayam kampung digiringnya ke kandang.
mengelusnya satu per satu, memasukkannya,
kandang ayam ada dibelakang rumah, berjajar dengan kandang sapi.
bau kotoran sapi terbakar dengan rumput kering, aroma desa.
merapikan ranting ranting jati.menatanya disamping pawon.
ritual tiap sore anakku, sebelum mandi.
cah alas, yang polos.
harapan sang bapak kelak saat tak ada lagi tenaga tuk tebang jati.
cah alas, yang periang.
semoga esok kau jadi anggota senat kampus, atau apalah, yang sibuk di universitas.
cah alas, yang lugu,
kelak menjadi mentari desa saat pulang dari kota.
berlarian ke pekarangan depan, menyambut bapaknya pulang.
bergelayutan di lengan, tertawa riang.
"ngudang" anak saat yang paling ia tunggu sedari siang.
berpeluk suka, berderai tawa.
tersirat harap sang bapak.
asap kukusan nasi jagung membubung diseantero pawon.
ber "aroma pawon" , seperti judul judul restaurant restaurant elit di kota.
bumbu desa, pawon jawa, kedai sambal, atau apa sajalah.
sudah ada sejak dulu kala, terwariskan turuntemurun.
diolah dengan teliti, dengan rasa, beretika.
bumbu bermacam warna, aneka rupa.
perpaduan beraturan.
entah kenapa, cina cina kaya di kota tidak berkunjung saja ke desa getas?
melalukan makan siangnya aseli racikan desa.
mungkin bersantap, sambil bertukar ilmu dagang ala china.
atau sekedar melihat sapi dan ayam milik sang bocah anak blandong jati.
anehhh...
"bune", sapaan mesra khas istri blandong jati.
segera meracik kopi dalam cangkir mungil.
disajikan diatas cawan yang si satu sisinya sudah gempil,
dan gantilan cangkirnya sudah hilang.
khas beraroma kopi, berasa cem ciu, sedap menggugah walau disuguhkan dalam cangkir gempil.
meja jati reyot berukuran besar berada di pawon, sudah tersaji lauk pauk,sayur mayur seadanya.
sayur kenikir campur sambel kelapa, tepatnya parutan kelapa yang dibakar dengan kreweng panas.
tempe goreng dan beberapa butir pete. hampir semuanya mengambil dari pekarangan samping rumahnya.
termasuk pisang kepok, sebagai pencuci mulut .
bune meladeni keluarganya dengan tulus dan ikhlas
sampai sampai waktu beranjak surup ia pun belum mandi bahkan berdandan,
atau sekedar ganti kebaya, supaya tidak bau sangit bajunya nanti.
sudah menjadi kewajibanya manut kepada sang suami, imamnya keluarga.
toh suatu saat bune sadar "bojo kuwi ming suargo nunut, neroko katut"
langit beranjak gelap, gilang gemintang bermunculan.
lampu lampu penerang teras dan jalan berurutan menyala.
bergumul keluarga, berbalut suka .
merajut cita tuk esok dan lusa.
beberapa waktu lagi tebang jati di malam hari hendak dimulai.
asa telah membulat, semangat membuncah.
taklupa memandikan gaman yang menjadi matanya.
dan sedikit ritual untuk melipatgandakan kepecayaan dirinya.
dua kapak disiram dengan air kembang kenongo, mawar, dan juga kantil.
air kembang yang telah di bumbui japa mantra.
asap menyan beradu dengan japa mantra.
merasuk dalam sukma, bergelora, mengugah asa.
basuhan air jeruh nipis menutup ritual siraman kapak.
dua meter kain mori di ikatkan perut hingga separuh dada.
membalut otot punggung dan perut, menambah kokohnya jalinan tulang dan ototnya.
bune, telah terlelap pulas dalam ranjangnya, rehat malam, tuk tenaga esok hari.
dan cah alas yang polos meringkuk diatas tikar, di ruang tengah.
sejenak ia berhenti, mengelus ubun ubun sang bocah.
melewati almari besar yang bercermin. berkaca sebentar untuk menatap wajahnya sendiri.
guratan wajah beralur alur tegas, bereringat, parasnya yang mulai kendur.
otot otot beralur, diselimuti kulit hitam yang mulai keriput.
seragam bekas polhut warnna hijau juga mulai pudar.
bahkan dibagian kerah lehernnnya sudah berserabut, usang.
celana gembyong hitam disabuki kain mori warna putih pucat
berkumpulah sekawanan blandong di ujung jalan desa menuju alas getas.
telapak kaki yang tebal, kapalan.menapaki jalan jalan sudetan dalam hutan jati yang mulai tak lebat lagi
hafal betul sudetan sudetan itu mengarah kemana.
sebagian perkakas yang ia bawa dalam tas ransel hijau kas tentera,
tiga kapak berukuran besar dan sedang gagangnya muncul di ujung ransel itu.
sebuah linggis besar ditenteng, kapak itu, sejarah baginya.
kapak adalah gaman penting bagi warga getas pada umumnya.
kapak adalah saksi sejarah rindangnya alas getas.
sekumpulan blandong tetangga desa pun juga menggunakan gaman yang sama.
kapak adalah gaman yang tidak akan membuat hutan ini tak lagi rindang.
kapak adalah gambaran bersahajanya warga getas.
sekumpulan aparat, pejabat, tetangga desa atau orang kota malah tidak mengunakan gaman yang sama
kapak,,,,,
mata kapak beradu dengan bonggol jati. suara yang keras diredam oleh balutan dedaunan di pangkal pohon
atau boleh juga polhut malam itu terlena oleh sirep dan japa mantra sang blandong.
hantaman kapak bertubitubi mengikis kerasnya bonggol jati.
hingga menjelang ayam berkokok pohon itu tumbang.
memotongmotongnya hingga menjadi beberapa pokok.
dengan kekuatan otot belaka dan dibalut sabuk mori, pokok pokok kayu jati itu dipanggulnya.
berjalan beriringan menyusuri sudetan alas tanpa henti.
berhenti berarti menyerah, berhenti berarti mengulang memanggul pokok itu dari awal.
hingga berujung pada kelokan bengawan.
pas sesuai rencana.
dikelokan bengawan, pokok pokok jati itu di hanyutkan mengikuti arus.
sekawanan blandong ikut menyelam menggiring pokok jati bak pasukan ampibi memulai penyergapan.
penyelaman berakhir di alas tetangga desa.
sesampainya di sana sekawanan blandong mentas dan memanggulnya lagi.
baru saja beberapa meter memanggulnya desingan revolver memecahkan kesunyian.
desingan revolver yang memekakkan.
desingan revolver sang sinder.
seorang blandong menjatuhkan pokok jati, menyerangnya dengan sekuat tenaga.
seperti perintah komandan, beberapa blandong lainya ikut menghajarnya.
beberapa pukulan telak menghantam rahang sang sinder.
terjerembab dalam semak gelap, dan menyusul beberapa tembakan dari polisi hutan.
desingan peluru yang sangat memekakkan, menghancurkan tekad melawan sekawanan blandong jati.
beberapa lari, dan seorang blandong terkapar bersimbah darah.
dua peluru melumpuhkanya.
bapak cah alas yang polos terkapar.
satu peluru tepat menembus samping perutnya, peluru lainya mendarat pada pahanya.
darah mengucur seantero semak, meninggalkan jejak merah seiring pelarianya.
menahan perih, menahan pahit.
Cerpen ini merespon fenomena global warming akhir akhir ini. Seperti kita ketahui penduduk adat pada lingkungan hutan sebenarnya menjunjung tinggi adanya kelestarian lingkungan. Dengan melakukan pencurian yang berkala, tidak serampangan. Peralatanya pun masih sederhana bahkan mereka menolak alat alat modern seperti gergaji mesin. Karena dengan alat alat modern akan menimbulkan ketimpangan hasil terhadap kelompok pelaku pencurian lainya Namun akhir akhir ini sulitnya kebutuhan yang mereka hadapi membuat pencurian kian menjadi. Didorong lagi oleh pencurian lintas instansi yang melibatkan aparat berkerja cukup rapi dan sistematis, membuat keirian yang mendalam pada penduduk adat hutan setempat.
Wonokitri Pakis, Surabaya medio februari 2008 aantirtoutomo@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar